Lawan “Hoax” dengan Verifikasi Media

[IMG:verifikasi-14.jpeg]

Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO Arif Zulkifli mengatakan, media mestinya diberikan keleluasaan untuk melakukan kerja jurnalistik tanpa batasan yang tidak perlu. Menurut dia, gagasan untuk menverifikasi media bagus dalam hal pendataan. “Tapi kalau sudah dikasih konsekuensi bahwa mereka yang tidak terverifikasi tidak bisa mewawancarai, kalau bermasalah dengan narasumber tidak dibela oleh Dewan Pers, itu menurut saya bahaya,” tegas Arif kepada majalah PR INDONESIA di Jakarta, Senin (6/2/2017).

Jika tujuannya untuk melawan hoax, lanjut Arif, hal itu justru kontraproduktif. Karena dengan cara seperti itu justru Dewan Pers akan mengembangbiakkan hoax.
Dia menegaskan, hoax hanya bisa bisa dieliminasi –kalau tidak bisa kita bunuh sama sekali—dengan cara memberi ruang selebar-lebarnya kepada wartawan untuk mengecek data kepada narasumber yaitu dengan wawancara. “Kalau wawancaranya dibatasi, maka hoax-nya akan berkembang,” katanya.

Untuk memerangi hoax dan media abalabal, seharusnya Dewan Pers fokus pada hilirnya, bukan di hulu. Jika ada media bermasalah dalam hal pemberitaan, pastikan apakah media tersebut memiliki badan hukum sesuai UU Pers, jika tidak serahkan kepada kepolisian. “Jadi, sebenarnya very clear UU Pers kita. Tidak
perlu ditarik ke hulu karena akibatnya banyak sekali pemberangusan dan pengekangan terhadap media massa,” ujarnya.

Setelah kontroversi berkembang di publik, akhirnya Selasa (7/2/2017) Dewan Pers pun memberikan klarifikasi. Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengatakan, rilis yang mengatasnamakan Dewan Pers dan menyebutkan hanya ada 74 media yang lolos verifikasi Dewan Pers dan hanya media-media itulah yang boleh dilayani jika meliput di lembaga pemerintah, termasuk TNI dan Polri, adalah hoax.

Demikian juga pada kalimat yang menyebutkan bahwa hasil verifikasi akan diserahkan kepada pemerintah untuk dibuatkan instruksi untuk pelaksanaan peliputan. “Dewan Pers menyatakan bahwa rilis tersebut palsu alias hoax yang kemungkinan besar ditujukan untuk menimbulkan kegaduhan di kalangan media dan wartawan,” ujar pria yang akrab disapa Stanley.

Ia menegaskan, verifikasi Perusahaan Pers yang dilaksanakan Dewan Pers, merupakan bagian dari proses pendataan perusahaan pers sebagaimana diamanatkan Pasal 15 ayat (2) g, UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Verifikasi dilakukan dengan mengacu pada empat Peraturan Dewan Pers yang telah diratifikasi oleh sebagian besar pemilik dan pimpinan perusahaan pers dalam Piagam Palembang, 9 Februari 2010.

Keempat peraturan tersebut masing - masing adalah Kode Etik Jurnalistik, Standar Perusahaan Pers, Standar Kompetensi Wartawan, dan Standar Perlindungan Profesi Wartawan.

Pada tahap awal, verifikasi diprioritaskan pada media-media yang telah menandatangani dan mendeklarasikan Piagam Palembang pada tahun 2010. “Hingga hari Senin, 6 Februari 2017, pukul 16:00, sudah ada 77 perusahaan pers yang telah diverifikasi. Jumlah ini akan terus berkembang karena proses verifikasi akan
terus berlangsung dan tidak hanya berhenti menjelang Perayaan Hari Pers Nasional HPN 2017,” kata Stanley.

Dewan Pers juga menjawab tuntutan masyarakat pers untuk tidak membacakan nama-nama media yang sudah terverifikasi pada pada saat “kick off” HPN di Ambon, 9 Februari 2017. Hal itu karena proses verifikasi masih terus berjalan dan untuk menghindari konsekuensi yang tidak perlu.

Dalam sambutan pada puncak acara HPN di Ambon, Stanley mengatakan verifikasi perusahaan pers merupakan salah satu upaya untuk memerangi penyebaran hoax yang telah meruntuhkan kepercayaan terhadap media mainstream. Karena itu media dan wartawan juga harus ikut memerangi hoax.

“Masyarakat pers tidak akan membiarkan hoax merajalela. Kembalikan otoritas kebenaran faktual kepada media arus utama, yang melaksanakan fungsi watchdog berdasarkan kode etik jurnalistik,” ujar Stanley dalam sambutan di hadapan Presiden Joko Widodo dan para pejabat negara lainnya. *** nif