ASSOEM 2015, Menguatkan Daya Saing Korporasi dan Media

[IMG:img-4941-edit.jpeg]

Awal tahun 2015 menjadi momen yang cukup menantang bagi Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat. Pasalnya, pada Kamis – Jumat (5-6/2/2015), untuk pertama kalinya SPS menggelar event berskala regional ASEAN Public Relations Summit (APRS) dan ASEAN Summit for State-Owned Enterprises and Media (ASSOEM) di Batam. Mengangkat tema besar Masa Depan ASEAN dalam Komunitas Ekonomi Global, SPS menggandeng Badan Pengusahaan (BP) Batam, ASEAN Public Relations Network (APRN), Bisnis Indonesia, dan BUMN Track. Puluhan korporasi BUMN dan swasta turut mendukung acara tersebut.

Meski persiapan panitia terbilang mendesak, tapi berkat dukungan dari berbagai pihak acara yang dirintis untuk digelar setiap tahun tersebut berlangsung sukses. Hal itu ditandai dengan hadirnya Wakil Presiden RI M. Jusuf Kalla, para menteri, CEO BUMN dan Media baik dari dalam negeri maupun perwakilan negara-negara ASEAN. Dalam kesempatan itu, Wapres RI M. Jusuf kalla membuka rangkaian kegiatan ASSOEM. Secara khusus Wapres mengapresiasi penyelenggaraan ASSOEM dan Kongres SPS 2015. Ia berharap acara tersebut akan meningkatkan daya saing Indonesia di level regional dan internasional. Menurut JK, demikian ia disapa, berkumpulnya para pengusaha dan media menjadi momen penting untuk saling sinergi guna meningkatkan perekonomian nasional dan regional.

“Media haruslah memberikan dukungan yang besar terhadap kepentingan ekonomi. Tentu media tetap boleh mengkritik, asal tidak hancur-hancuran, sehingga tidak mengganggu ekonomi. Itulah demokrasi yang sehat untuk kita semua. Karena itu saya harapkan kita semua mengedepankan kebersamaan, baik kebersamaan Indonesia maupun dengan sesama negara ASEAN,” katanya.

Setelah menyampaikan sambutan, Wapres didampingi Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Menteri Pariwisata Arief Yahya, Gubernur Kepri HM Sani, dan Ketua Umum SPS Pusat Dahlan Iskan menabuh gong sebagai tanda dibukanya ASSOEM dan Kongres SPS 2015.

Potensi Besar Pariwisata

Menyusul sambutan Wapres, Menteri Pariwisata Arief Yahya menjadi pembicara pertama ASEAN Summit. Ia menyampaikan presentasi tentang Visi Pembangunan Pariwisata Indonesia. Menurut Arief potensi pariwisata Indonesia sesungguhnya sangat besar, namun sayangnya selama ini pengelolaannya masih belum maksimal.

Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN posisi Indonesia dalam hal pariwisata masih kalah dibanding Singapura, Malaysia, dan Thailand. Tahun 2014 jumlah turis yang datang ke Indonesia sebanyak 9,4 juta atau tumbuh 7,2 persen. Meski, angka tersebut masih berada di atas pertumbuhan rata-rata dunia yang mencapai 4,7 persen. Tapi masih kalah dibanding tetangga terdekat, yakni Malaysia.

“Dalam bisnis kita harus lebih tinggi dari kompetitor terdekat kita. Dengan taktik marketing yang benar, Indonesia bisa bersaing dengan negara lain. Karena itu, saya menargetkan tahun ini wisatawan yang masuk ke Indonesia bisa mencapai 12 juta,” ujarnya. Menurut mantan CEO PT Telkom ini, untuk mengembangkan potensi pariwisata Indonesia, perlu strategi yang jitu dan terfokus dengan memprioritaskan destinasi-destinasi utama yang paling banyak dikunjungi wisatawan asing seperti Bali, Jakarta, dan Batam. Pada 2014, tiga destinasi tersebut menyumbang 95 persen wisatawan asing ke Indonesia. Dengan memprioritaskan tiga destinasi tersebut sebagai entry point ke Indonesia diharapkan akan makin banyak kunjungan turis mancanegara.

Kesempatan berikutnya, CEO International SingTel Mark Chong, berbagi pengalaman tentang strategi Singtel dalam eskpansi usaha di tingkat global. Perusahaan telekomunikasi asal Singapura ini terbilang sukses menjadi pemain bisnis telekomunikasi global. Menurut Mark Chong, kini Singtel memiliki 525 juta pelanggan yang tersebar di 25 negara, termasuk Indonesia melalui kerjasama dengan Telkomsel.

“Ada kalanya kami sukses dan ada kalanya kami gagal. Tapi kami memang beruntung masuk ke bisnis ini di saat dan waktu yang tepat, ketika pasar industri telko baru berkembang. Kalau direfleksikan ulang, kontributor utama suksesnya Singtel adalah kami memiliki partner-partner lokal yang baik, yang bisa saling percaya, dan berkembang bersama,”  ujarnya.

Perkembangan Singtel sebagai pemimpin pasar dalam industri telko di Asia selain Tiongkok, menjadi salah satu icon pertumbuhan ASEAN yang dalam beberapa tahun terakhir memang cukup positif. Menurut Bambang Irawan, Managing Assistan Director Finance Integration Division ASEAN, pertumbuhan ekonomi regional ASEAN sendiri sejatinya memang sedang berkembang, bahkan pertumbuhannya melampaui pertumbuhan rata-rata global. “Pertumbuhan ekonomi ASEAN melampaui pertumbuhan ekonomi global, hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan pada 2011-2012 dari 4.8 persen menjadi 5.7 persen pada 2012,” ujarnya.

Pertumbuhan yang tinggi tersebut tentu menjadi modal yang baik untuk meningkatkan daya saing ASEAN di level global. Kesiapan negara-negara ASEAN dalam menghadapi MEA sendiri memang bervariasi. Secara umum, tingkat kesiapannya jika dilihat dari implementasi berbagai persiapan MEA sudah mencapai 82,1 persen. Angka tersebut terinci dalam pencapaian empat pilar MEA. Pertama  Single Market and Production Base mencapai 84,3 persen dan pilar kedua  Competitive Economic Region baru 69,6 persen. Sedangkan pilar ketiga Equitable Economic Development dan pilar keempat  Integration into the global economy  sudah mencapai 100 persen.

“Menjelang diberlakukannya MEA pada akhir 2015, masih banyak hal yang menjadi tantangan, di antaranya keterlambatan ratifikasi dan penyesuaian berbagai kesepakatan ASEAN ke dalam hukum domestik,” kata Bambang.

 

Kesiapan Industri Perbankan

Adapun CEO Bank BNI Gatot M Suwondo menyampaikan Strategi Industri Perbankan Indonesia dalam Menghadapi MEA. Menurutnya, industri perbankan Indonesia di bawah regulasi Bank Indonesia dan OJK telah menyiapkan diri untuk menghadapi persaingan global termasuk MEA. Dari sisi regulasi, sejatinya perbankan Indonesia termasuk terbuka, hal ini ditandai dengan banyaknya bank-bank besar dunia yang beroperasi di Indonesia.

BNI sendiri mengambil posisioning sebagai bank yang menjembatani masyarakat Indonesia dengan komunitas internasional. Hal ini tampak dari komitmen BNI untuk terus memperluas bisnisnya di luar negeri. “BNI adalah bank lokal yang paling luas jaringan internasionalnya. Dengan lima cabang di luar negari yakni di Singapura, Jepang, Amerika Serikat, Inggris, dan Hongkong. Dalam waktu dekat BNI juga sedang memproses untuk mendirikan cabang di Myanmar, Jeddah, dan Korea Selatan,” ujarnya.

Kini, bersama 15 BUMN seperti PT. Timah, PT, Bukit Asam, PLN, Semen Indonesia, PT. Pupuk Indonesia, Bulog, Garuda Maintenance Facilities, dan PT. Telkom, BNI akan memasuki pasar Myanmar. Dengan berbagai ekspansi yang dilakukan, BNI berharap dapat terus berkembang seiring diberlakukannya MEA akhir tahun ini.

Selain para pembicara di atas, narasumber dari BUMN yang hadir dan menyampaikan presentasinya adalah Honesti Basyir Chief Marketing Officer Wholesale & International Business PT. Telkom Indonesia Tbk dan Benny Andrianto A Vice President Director PT Adhya Tirta Batam. Mereka menyampaikan cerita sukses pengembangan bisnis masing-masing perusahaannya. *** (nif)