Sudah Dua Dekade, UU Pers Masih Relevan?

[IMG:seminar-1.2.jpeg]

Pertanyaan ini mengemuka di acara seminar nasional bertema “Dua Dekade Undang–Undang Pers dan Masa Depan Industri Pers di Indonesia “ di Jakarta, Senin (23/09/2019).

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Kebebasan pers di negeri ini lahir sejak disahkannya Undang-Undang Pers No 40 Tahun 1999. Selama 20 tahun terakhir ini, tidak tampak lagi kasus pembredelan yang dilakukan oleh pemerintah.

Menurut Asep Setiawan, anggota Dewan Pers periode 2019-2022, dari segi Indeks Kemerdekaan Pers, pers di Indonesia mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Namun, tidak dibarengi dari sisi kualitas. “Dari segi kualitas pers belum melahirkan profesionalisme. Setiap hari ada saja pengaduan yang berkaitan dengan pemberitaan yang tidak bertanggung jawab. Terutama, kepada media daring,” ujarnya di acara yang diselenggarakan oleh Serikat Perusahaan Pers (SPS).                                                                        

Sementara itu, berkaitan dengan model bisnis pers, Komisaris PT Tempo Inti Media Bambang Harymurti berpendapat, hingga saat ini belum banyak penerbit pers cetak di Indonesia yang benar-benar sukses menerapkan model bisnis baru sejak lahirnya internet dengan segala perkembangan teknologi informasi yang sedemikian cepat dan masif, sembari tetap mempertahankan eksistensi produk cetak.

Padahal, imbuhnya, digitalisasi adalah keniscayaan bagi masa depan pers cetak di seluruh dunia. “Lebih mengutamakan pembaca dari pada iklan adalah salah satu solusi yang bisa diterapkan pada media cetak untuk mengimbangi perkembangan bisnis media on-line,” katanya. Untuk itu, ia melanjutkan, “Bangunlah engagement yang baik dengan pembaca sehingga akan berpangaruh baik dari sisi bisnis.”

Menurut Ketua Harian SPS Pusat Januar P Ruswita, masih ada masa depan bagi industri pers cetak. “Tinggal bagaimana penerbit bisa menjaga brand-nya,” ujar Direktur Harian Pikiran Rakyat ini. “Pendapatan iklan memang terus turun tiap tahunnya, tetapi dengan menjaga kekuatan brand yang dimiliki, kita dapat mengembangkan model bisnis lain,” katanya. Salah satunya, dengan cara menyelenggarakan event atau kerja sama dengan pemerintahan.

Pemimpin Redaksi Tirto.id Sapto Anggoro turut berbagi kisah saat mengembangkan bisnis media digital. Satu tahun pertama setelah Tirto.id lahir, mereka berkomitmen untuk tidak menerima iklan. Mereka membangun budaya kerja bahwa hal yang terpenting adalah fokus meningkatkan kualitas konten. “Jika hal itu baik (dengan sendirinya) akan berpengaruh pada ketertarikan pemasang iklan,” tutupnya. (mai)